"Aman kabèh Cak. Kari cus e ae. Wes mlêbu mobil kabèh barange" , jawab Panjul.
"Aku nyêtìr sìk. Awakmu ngko ae nek wìs têkan Rembang." Lanjut Panjul sambil
bergegas menuju ke sisi sopir.
Saat itu matahari berada di atas kepala dan sudah sedikit bergeser ke arah
barat. Dari sebuah pelataran masjid di kecamatan Kembang, Jepara. Sekitar jam
13.00, kami mulai berangkat.
Di pinggiran kota Jepara, sebentar kami mampir di gang di mana sepanjang
jalannya menjual pernak-pernik kerajinan tangan yang terbuat dari kayu. Dari
kecamatan Kembang, gang itu ada di sisi kanan jalan. Ada sebuah masjid besar
di pintu masuknya.
Oiya, satu lagi ciri khasnya. Yaitu buah Durian. Tapi berhubung kali ini bukan
musimnya, kami harus bersabar menunggu perjalanan ke Jepara di lain waktu.
Saat itu belum ada tol trans jawa yang menghubungkan Jakarta sampai Surabaya.
Jalur tercepat menuju Surabaya (saat itu) adalah lewat pantura. Kota - kota
yang akan kami lewati di sepanjang jalur Jepara - Surabaya adalah Kudus, Pati,
Rembang, Tuban, Lamongan dan Gresik.
Jalur tengah yang kami sepakati untuk gantian jadi sopir adalah di alun-alun
Rembang.
Sekitar jam 5 sore, sampailah kami di alun-alun kota Rembang. Tiba saatnya
diriku untuk duduk di belakang setir.
"Njul, iki mlaku tak bantêrno sitik yo bèn cêpêt nyampèk nggòn?".
"Sak karêpmu. Sing penting ngko ojok lali minggir nang Rajungan Tuban", pinta
Panjul.
"Rajungan Manunggal Jaya? Siyaaaapp!!!!", jawabku.
Terbayang sudah pedasnya rajungan dan cumi-cumi ala Tuban, yang sampai saat
itu belum sempat kami cicipi karena selalu kelaparan duluan sebelum sampai
lokasi. Dari kabar yang beredar, pedasnya Rajungan Manunggal Jaya itu RuwarRR
biasa mantab, katanya.
Segera ku injak pedal gas untuk melaju meninggalkan matahari, yang semakin
lama semakin kehilangan dayanya untuk menyinari bumi. Tapi di sisa energinya,
masih sempat juga dia menyilaukan mata. Dengan sisa tenaganya, sinarnya
terpantul lewat kaca spion dan menusuk mata.
Silaunya, membuatku hampir tidak menyadari ada sebuah mobil di belakang dan
seperti sangat bersemangat untuk segera menyalip.
"Njul, Kijang mburi iku lapò kok intap-intip kaet mau?" , tanyaku ke Panjul.
"Mbùh. Gak ngerti embong rame ne koyok ngene ta. Mbahayani mobil iku. Banterno
sitik ae cak. Kêbêlêt ngìsìng paling sopire" , asumsi Panjul.
Ku injak gas lebih dalam. Tujuanku adalah segera menjauh dari Kijang itu. Tapi
dia meresponse dengan kecepatan yang sama. Dia selalu lengket di belakang.
Mungkin karena banyaknya iring-iringan truk dari sisi yang berlawanan yang
membuat kijang itu tidak mendapat momen untuk menyalip.
"Kijang mburi iku plat e L cak. Iki kòyòk e bakal kithing-kithingan koyok
ngene sampai suròbòyò iki. Isò-iso gak sidò mampir rajungan" , si Panjul mulai
risau.
"Sìk Njul. Sedilut ngkas. Nggarai emosi kijang iku."
Dan pada titik ini, diriku pun mulai berulah. Dari pertigaan Sarang sampai
tapal batas propinsi Jateng-Jatim, tak kubiarkan dia menyalip. Semua peluang
Kijang itu sengaja ku tutup. Semua jurus nyetir yang sudah kukuasai selama
ini, semuanya kuterapkan. Gerakan ke kiri, ke kanan. Jurus bangau maupun jurus
ular juga sudah keluar. Harapannya si Kijang itu tertinggal jauh di belakang.
Tapi harapan tinggal harapan. Kijang itu selalu lengket di belakang.
Sebagai pengendara Panther yang baik, diriku pun mulai melunak saat sampai
tapal batas propinsi. Saat itu matahari baru saja tenggelam sempurna di ufuk
barat, menyisakan bias warna jingganya di payung langit. Jalan di tapal batas
ini ada empat lajur. Beda dengan jalan yang barusan di lalui yang hanya dua
lajur untuk dua arah.
Ku kendurkan pijakan gas dan kuambil jalur kiri. Ku biarkan Kijang itu
menyalip agar nanti dia bisa bangga dengan dirinya dan bisa cerita kemana-mana
kalau dia bisa mbalap Panther di tapal batas jateng jatim.
Dari kaca spion, kuamati detik demi detik proses kijang itu menyalip Pantherku
dari sisi kanan. Terlihat sejenak penumpang di sisi kiri Kijang itu menurunkan
kacanya.
"Wah, sepertinya dia tidak mau kehilangan moment untuk melihat wajah sopir
Panther yang akan di salipnya. Sok-sok'an" , pikirku. Dan diriku reflek ikut
menurunkan kaca mobil di sisi kananku. "Iki, dêlok'ên" .
Dan setelah posisi mobil kami dalam posisi parallel, diriku sudah siap
meresponse nya dengan senyum simpul di bibir.
"CAK, BAN MBURI SISI KIRI SAMPEAN GEMBOS !!!!!" , teriak penumpang kijang
depan sisi kiri.
"WHAAATTTSSS !!!" , diriku pun spontan menginjak rem dan mengarahkan Pantherku
ke bahu jalan. "Suwun cak wìs di kandani !!!!", teriakku pada Kijang yang
sudah menjauh di depan.
Setelah mobil berhenti sempurna, kami berdua pun turun untuk mengecek ban
mobil di sisi kiri belakang.
" Ajur cak ban e. Iki mau gak kròsò ta pas balapan mau?", tanya Panjul
"Gak blass, hehe" , jawabku seadanya, sambil nyengir 😁
Sepurane cak Kijang, wes salah pengertian dengan maksud baikmu 😂
ojo lali, bar nambal ban mburine trus mampir segi goreng plus baksone pak amir siwalankerto yoo,cak
ReplyDeleteSiyap cak, wis suwe gak mbakso mrunu.
Delete